Pengaturan sanksi untuk Kepala Desa justru diatur dalam pasal-pasal sebelum pasal yang mengatur pemilihan dan pemberhentian Kepala Desa. Ada rumusan yang mengatur sanksi untuk Kepala Desa, yaitu Pasal 28 dan Pasal 30. Pasal 28 mengatur sanksi untuk Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban yang diatur Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27; sedangkan Pasal 30 mengatur sanksi untuk Kepala Desa yang melanggar larangan-larangan yang disebut dalam Pasal 29. Rumusan kedua pasal ini adalah sebagai berikut.Pasal 28(1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis;(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.PenjelasanCukup jelasPasal 30(1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis.(2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian.PenjelasanCukup jelasPembahasan di DPRTidak banyak catatan yang bisa dilacak mengenai pembahasan tentang sanksi. Dari dokumen pembahasan rapat 12 Desember 2012, tercatat pimpinan rapat Akhmad Muqowwam menyebutkan sanksi saat membahas kluster pembahasan. Sanksi dimasukkan dalam kluster ketujuh, seperti ia katakan:“Ketujuh adalah pembinaan dan pengawasan serta ketentuan sanksi. Ada di dalam Bab XV dan Bab XVI yang penjelasannya adalah bahwa substansi pembinaan dan pengawasan dan ketentuan sanksi adalah dua hal yang berbeda dijadikan satu cluster, karena muatan pasalnya. Jadi pada kuantitas sedikit”.Dalam DIM per Oktober 2012, bab mengenai sanksi memang masih tercantum, berisi tiga pasal (87-89). Rumusan tentang sanksi dalam RUU tentang Desa sebagaimana disebut dalam DIM pada dasarnya hanya mengenal sanksi administrasi berupa teguran, pemberhentian sementara, dan pemberhentian. Hanya, dalam RUU disebut kemungkinan Kepala Desa memperbaiki diri. Misalnya rumusan berikut: “Kepala Desa yang dikenakan sanksi pemberhentian sementara ….dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari tidak melakukan perbaikan, maka dikenakan sanksi pemberhentian”. Bahkan RUU kemudian memuat klausula tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa yang melakukan kejahatan.TanggapanPenerapan sanksi administrasi adalah salah satu bentuk tindakan pemerintahan yang didasarkan pada kewenangan administrasi yang khas karena tidak diperlukan prosedur peradilan dalam menerapkannya dan bersifat sepihak.[7] Memberhentikan seorang pejabat adalah salah satu bentuk sanksi administrasi tersebut, selain yang sudah berkembang saat ini.[8]Sanksi administratif untuk Kepala Desa dibedakan atas dua jenis kategori perbuatan, yaitu:Sanksi karena tidak melaksanakan kewajiban; danSanksi karena melanggar larangan.Merujuk Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 UU Desa, Kepala Desa memiliki 20 kewajiban, dan tidak boleh melanggar 12 larangan. Secara normatif, pemberian sanksi ini dipandang sebagai bagian dari pembinaan dan pengawasan. Pasal 115 huruf m UU Desa menyebutkan pembinaan dan pengawasan yang dilakukan pemerintah kabupaten/kota meliputi antara lain: ‘memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sesuai dengan ketentuan perundang-undangan’. Rumusan senada juga disebut dalam Pasal 101 PP No. 72/2005 tentang Desa, bahwa dalam rangka pembinaan dan pengawasan, pemerintah kabupaten/kota berhak antara lain ‘memberikan sanksi atas penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala Desa sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan’.Ancaman sanksi administratif bagi Kepala Desa ini juga dikenakan kepada perangkat desa (lihat Pasal 52 UU Desa).Undang-Undang Desa tidak mengatur sama sekali ketentuan sanksi dalam bab terpisah sebagaimana umumnya undang-undang. Memang, tidak ada kewajiban untuk membuat aturan sanksi tersebut. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan juga tak memuat sanksi. Tetapi UU Desa mengatur banyak kewajiban dan larangan yang pada dasarnya bersifat yuridis dan diancam pidana dalam perundang-undangan lain. Misalnya, larangan menerima uang, barang atau jasa dari pihak ketiga yang dapat mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya berkaitan dengan UU No. 31 Tahun 1999, yang telah diperbaiki dengan UU No. 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, ada rumusan-rumusan kewajiban yang tak memiliki parameter yang jelas agar seseorang bisa dikenakan sanksi administratif. Misalnya, melanggar kewajiban ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat’.Berdasarkan penelusuran pada DIM RUU Desa (per Oktober 2012) dibandingkan dengan naskah UU Desa ternyata ada satu bagian penting yang hilang, yaitu bagian tindakan penyidikan. Penelusuran pada salinan pembahasan juga tak banyak membantu. Menteri Gamawan Fauzi menyinggungnya saat rapat kerja 15 Mei 2012 seperti penggalan kalimat berikut:“Berkaitan dengan pandangan DPD-RI mengenai pemerintahan desa, Pemerintah dapat menjelaskan bahwa….(a) substansi mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa dalam regulasi ini meliputi pengaturan mengenai struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa, tugas, wewenang, hak dan kewajiban Kepala Desa, larangan bagi Kepala Desa, pemberhentian dan pemilihan Kepala Desa, tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa”.Naskah awal RUU Desa khususnya Pasal 33 yang mengatur tindakan penyidikan, merumuskan norma sebagai berikut:Tindakan penyidikan terhadap Kepala Desa dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atas permintaan pihak yang berwenang;Dalam hal persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota tidak terbit dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyidikan dapat dilanjutkan;Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan.Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati; danDisangka melakukan tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan atau tindak pidana terhadap keamanan negara.Jika ditelusuri lebih lanjut, rumusan Pasal 33 RUU tersebut khususnya ayat 3 huruf c yang akhirnya dituangkan dalam Pasal 42 UU Desa.Salah satu pertanyaan penting yang mungkin muncul di lapangan nanti adalah tentang sanksi administratif bagi Kepala Desa. Sanksi administratif dalam rumusan UU Desa bermuara pada pemberhentian. Sebenarnya sanksi administratif tak hanya bermuara pada pemberhentian tetapi juga kemungkinan sanksi lain seperti denda administratif. Jika Kepala Desa melanggar Pasal 26 ayat (4) huruf p UU Desa, misalnya, sanksinya bukan mengarah pada pemberhentian tetapi pada kemungkinan membayar denda jika terbukti ia sengaja tidak memberikan informasi publik kepada pemohon (PP No. 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik).Selain itu, parameter untuk mengukur pelanggaran sejumlah kewajiban tidak jelas. Beberapa larangan bagi Kepala Desa itu bahkan sangat bersifat pidana ketimbang pelanggaran administratif. Melakukan korupsi, misalnya. Argumentasi ini bisa terbantahkan jika ada klausula/norma yang menyebutkan sanksi administratif itu tidak menghapus pertanggungjawaban pidana.
We appreciate you contacting us. Our support will get back in touch with you soon!
Have a great day!
Please note that your query will be processed only if we find it relevant. Rest all requests will be ignored. If you need help with the website, please login to your dashboard and connect to support